Statement Ketua Devisi Hukum KIP Aceh Disorot Netizen. Izuddin Idris : Ini Contoh Pelanggaran Berat Kode Etik Penyelenggara.

NALARPOS.COM, ACEH TAMIANG – Terkait adanya statement Ketua Devisi Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Ahmad Mirza Safwandi, yang mengatakan bahwa putusan PTTUN terlambat sehingga Hamdan Sati-Febriadi tidak bisa jadi peserta Pilkada 2024, ternyata mendapat sorotan dari berbagai kalangan dan netizen di Kabupaten Aceh Tamiang.

Salah satunya yakni mantan Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang, Izuddin Idris.

Bacaan Lainnya

“Dari sudut pandang aku sebagai mantan Penyelenggara Pemilu, ini adalah contoh Pelanggaran Berat Kode Etik Penyelenggara,” tulis Izuddin Idris distatus akun Facebooknya, disertai postingan foto halaman depan surat kabar Harian Serambi Indonesia, Jumat, (1/11/2024).

Status yang ditulis oleh Izuddin Idris dibranda akun facebooknya itu, mendapat tanggapan dari netizen sebanyak puluhan komentar dan hampir mencapai seratus like.

Bertabur komentar dari netizen terhadap postingan Izuddin tersebut pun turut menghiasi. Diantaranya ada netizen dengan akun facebook memakai nama Muhammad Uria dengan menulis komentar.

“Siapa yg melakukan pelanggaran berat bg,” tulis Muhammad Uria bertanya dikolom komentar.

Pertanyaan itu mendapat balasan dari Izuddin direntetan kolom komentar tersebut.

“Muhammad Uria, kawan yg ngomong itu.
1. Dia itu komisioner, bukan pengamat dan pemerhati hukum. Jgn melakukan analisis. Penyelenggara pemilu tugasnya menjalankan aturan yg ada, tidak boleh membuat terjemahan macam2 apalagi menjadi analis dan mempublish pendapat subjektif-nya ke publik.

2. Dia membangun opini publik, seolah pendapatnya yg benar, padahal KIP Atam belum melakukan pleno dan membuat keputusan. Bagaimana seandainya nanti kptusan KIP Atam berbeda dgn apa yg dia sampaikan? Pasti KIP atam akan dituding oleh masyarakat ada main mata atau dianggap tidak kompeten, karena opini publik sdh terbentuk duluan bahwa pernyataan dialah yg benar.

3. Ini kasus milik KIP Atam, jd otoritas penuh utk memutuskan ada di tangan pleno KIP Atam. Kip provinsi hanya boleh melakukan supervisi. Jd kawan ini melampaui kewenangannya. KIP Atam blm pleno, kawan itu udh bikin kesimpulan sendiri atas nama divisi hukum KIP Provinsi, dan dipublish ke media. Jd sama saja dengan mengatakan bahwa kl KIP Atam nanti melakukan pleno, kputusannya hrs ngikuti cakap dia itu,” tulis Izuddin membalas pertanyaan Muhammad Uria dikolom komentar.

Mendapat penjelasan yang ditulis Izuddin tersebut, Muhammad Uria kembali memberikan komentarnya.

“Izuddin Idris, itu akibat yunior tdk mau minta pandangan dengan senior hahahhahahhahaha berabe jadinya,” tulis Muhammad Uria dialur kolom komentar tersebut.

Tidak hanya itu, dipostingan facebook Izuddin Idris tersebut, juga ditanggapi oleh pengguna facebook atas nama Buya Mustqim. Didalam komentar Buya Mustaqim menulis dengan kalimat.

“Analisa keputusan PTTUN
Semestinya sudah dpat untuk dijalankan. Hanya ada 2 pilihan bagi penyelenggara. Pertma menjalankan keputusan sesuai ketentuan hukum dari PTTUN. Kedua, kasasi dgn berisiko penundaan Pilkada Aceh Tamiang,” tulisnya.

Kemudian ada juga akun facebook atas nama Agam memberikan komentar dalam postingan Izuddin tersebut.

“Kepingin bg agam yang orang bodoh nggak sekolah untuk jumpa langsung dgn komisioner KIP Aceh itu untuk kasih tunjuk data sekaligus minta statementnya karena dia divisi bidang hukum. Bg agam pingin belajar dari komisioner KIP Aceh itu,” tulis agam dalam kolom komentar.

Munculnya reaksi dari berbagai kalangan dan netizen di Aceh Tamiang yang disampaikan melalui Media Sosial (Medsos) Facebook tersebut, diakibatkan adanya statement Ketua Devisi Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Ahmad Mirza Safwandi melalui media cetak Harian Serambi Indonesia, edisi Kamis, (31/10/2024), dengan mengatakan bahwa keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan pada 29 Oktober 2024 yang meminta KIP menetapkan pasangan calon bupati dan wakil bupati Aceh Tamiang Hamdan Sati-Febriadi sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, terlambat dikeluarkan. Sehingga putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Menurut Ahmad Mirza Safwandi, putusan PTTUN tersebut mengacu pada konstruksi ketentuan yang ada di Pasal 154 ayat 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

“Di situ disebutkan bahwa KIP atau KPU berkewajiban untuk melaksanakan putusan. Tetapi dari konstruksi pasal 154 ayat 12 ini, pembentuk undang-undang di situ menentukan kewajiban pelaksanaan dan penyelenggaraan dibatasi sepanjang sebelum 30 hari pemungutan suara,” kata Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Ahmad Mirza Safwandi, saat berkunjung ke Kantor Serambi Indonesia bersama komisioner KIP lainnya, Kamis (31/10/2024).

Ahmad Mirza menjelaskan sebagai lembaga yang bersifat tetap dan hierarkis pihaknya telah menerima konsultasi dan melakukan supervisi pada KIP Aceh Tamiang terkait sengketa tata usaha negara tersebut.

Dikatakan Mirza, pengucapan putusan oleh PTTUN Medan itu pada 29 Oktober 2024. Ini berarti jarak antara pemungutan suara dengan putusan yang diucapkan majelis hakim adalah 28 hari. Sehingga putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

“Artinya ini memang sudah di bawah 30 hari. Sedangkan pembatasan dari undang-undang bisa laksanakan itu 30 hari ke atas. Ini kita sampaikan juga kepada teman-teman KIP Aceh Tamiang bahwa ada kewajiban kita untuk melaksanakan kewajiban perundang-undangan,” jelasnya.

Di sisi lain, kata Mirza, sebagai penyelenggara pihaknya juga dituntut harus mematuhi peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017. Di mana penyelenggara wajib berintegritas dan wajib menjaga profesionalisme.

“Makna profesionalisme adalah bagaimana setiap kebijakan dari penyelenggara ini bersesuaian dengan sifat dan berkepastian hukum. Berkepastian hukum, maka di sini kita juga harus melaksanakan sesuatu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

“Kalau kita lihat dari norma pasal 154 ayat 12 ini tidak bisa kita laksanakan (putusan PTTUN). Sedangkan kehendak daripada putusan itu adalah untuk menetapkan pasangan calon tersebut yang posisinya sebagai penggugat. Jadi yang mengizinkan dan tidak mengizinkan posisi putusan tersebut adalah pasal 154 ayat 12 ini,” ungkapnya.

Dia mengatakan, jika tetap menjalankan putusan PTTUN Medan tersebut, maka pelaksanaan Pilkada di Aceh Tamiang berpotensi tidak akan dilaksanakan tepat waktu. Sementara dalam Undang-Undang Pilkada disebutkan bahwa proses penyelenggaraan Pilkada harus dilaksanakan tepat waktu, dan bakal ada konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan tepat waktu.

Pertanyaannya, kalau ini dilaksanakan apakah penyelenggaraan Pilkada itu tepat waktu atau tidak. Jawabannya tidak tepat waktu. Nah, ada konsekuensi ketika Pilkada itu tidak dilaksanakan tepat waktu. Ada implikasi yuridisnya, pasal 193 huruf a ayat 2 disebutkan bahwa ketika KIP kabupaten dan kota tidak melaksanakan sebagaimana ketentuan di pasal 14, punya konsekuensi pidana,” pungkasnya.

Bunyi lengkap  Pasal 154 ayat 12 itu adalah, “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.” (*)

 

Pos terkait